Beauty and The Bea(s)t

Maret 18, 2017

Disney Princesses
Sebagai anak dari generasi 90an, saya cukup familiar dengan para princesses Disney ini. Sesuai gambar di atas, berurutan dari kiri ke kanan : Jasmine dari film Aladin, Rapunzel dari film Tangled, Snow White dari film Snow White and The Seven Dwarfs, Mulan dari film Mulan, Aurora dari film Sleeping Beauty, Cinderella-the main Disney's princess-dari film Cinderella, Pocahontas dari film Pocahontas, Tiana dari film The Princess and The Frog, Belle dari film Beauty and The Beast, Ariel dari film The Little Mermaid, dan anggota baru geng putri Disney adalah Merida dari film Brave. Satu lagi ketinggalan, putri kekinian yang euforianya masih belum usai dari 2013 hingga 2017 ini, yaitu Anna dan Elsa dari film Frozen. Can you guess, who is my most favourit princess? And yaa, favorit saya adalah a nerd book with long brown hair and hazel eyes, Belle. Tahun 2015 berita Emma-Hermione-Watson dikonfirmasi memerankan karakter Belle pada Beauty and The Beast membuat ekspektasi saya terhadap adaptasi salah satu animasi Disney ini semakin tinggi.

Belle-seorang gadis desa-yang dianggap odd and peculiar oleh semua tetangganya, tinggal bersama ayahnya, Maurice. Sebuah insiden mempertemukan mereka dengan Beast-pangeran angkuh-yang terkena kutukan penyihir. Sesuai versi animasinya, adaptasi Beauty and The Beast adalah perjalanan Belle dan Beast menemukan cinta sejati untuk mematahkan kutukan sebelum kelopak mawar terakhir jatuh. Alur cerita sudah sangat familiar, tinggal menikmati bagaimana pengemasan film dengan CGI di mana-mana dan menikmati kecantikan Emma Watson, yang pastinya sangat bekerja keras belajar menari dan bernyanyi karena menjadi tokoh center sebuah drama musical.

Beauty and The Beast berhasil membuat saya tersenyum sepanjang 129 menit. Crew film menghidupkan imajinasi dunia Belle yang sudah abadi di hati pecintanya. Nuansa klasik sangat solid terasa dari pemilihan lagu, pemilihan buku yang dibaca Belle, busana, dan suasana. Membawa saya bernostalgia lagi ke masa duduk di bangku putih-merah dan menikmati Belle di layar kaca dalam bentuk animasi, rasa yang sudah saya lupakan itu kembali lagi. Belle's little town, ballroom, winter landscape, Beast's private library, Lumiere, Mrs. Potts, Chip, Gaston and LeFou, Enchantress, and all of the rest. I love everything about Disney stories coming to life. Satu yang aneh, latar tempat di Prancis tapi aksen sangat British.

Beriringan dengan keriuhan, film tidak luput dari kontroversi. Isu LGBT dalam film ini, saya rasa minor, tidak perlu banyak dibahas jika tidak setuju. Dengan membesar-besarkan sesuatu yang kecil, itu lah yang membuat hal menjadi terlihat dan banyak diperbincangkan, padahal masih bisa dihiraukan. Maaf yaa, saya anaknya emang gak mau mengambil pusing. Hehe.

10 menit menjelang film berakhir, semua kutukan hilang, semua penghuni Beast's Castle kembali menjadi manusia. Rambut Beast ketika kembali ke wujud manusia cantik banget (gagal fokus). Ada Profesor Dumbledore dan Profesor Sybill Trelawney, cieeee reunian Harry Potter.

Momen yang membekas di ingatan saya adalah ketika Beast mengenalkan private librarynya pada Belle. Emma Watson sebagai Belle tidak perlu bersusah payah pura-pura menyukai buku. Pancaran matanya itu terlihat sangat bercahaya dan seperti berkata "You give me a book, you give me a world". Then I talked to myself, I wanna that library too.


Beast's Library

You Might Also Like

0 komentar